Aliran kata dari akal dan hati. Sebuah upaya menebar manfaat melalui jejak digital. Semoga menjadi علم ينتفع به .

1 Januari 2022

Untuk Apa Aku Ada?


Sumber: https://depositphotos.com/76456337/stock-photo-3d-white-people-doubting-man.html

Ya, untuk apa aku ada? Mengapa aku terlahir ke dunia? Apa tujuan hidupku? Dan sederet pertanyaan lain yang menuntut pemikiran yang serius untuk menjawabnya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut kerap kali muncul dalam benak manusia sejak masa remaja. Masa yang memang penuh dengan pertanyaan kritis mengenai eksistensi dirinya dan segala sesuatu laksana Ibrahim muda yang mencari tahu siapa pencipta alam semesta (lihat Al An’am: 74-83 dan Al Anbiya: 60). Bahkan dalam taraf tertentu dengan nalarnya mampu menggugat Tuhan dengan pernyataan: kalau saja aku tidak pernah ada. 

Terdapat beberapa perbedaan pendapat mengenai rentang usia masa remaja. Dalam pusdatin.kemkes.go.id misalnya, disebutkan bahwa usia remaja dalam pandangan WHO adalah penduduk dalam rentang usia 10-19 tahun, menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 25 tahun 2014 remaja adalah berusia 10-18 tahun, dan menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana berusia 10-24 dan belum menikah. 

Khadijah ketika membahas tentang perkembangan jiwa keagamaan pada remaja dalam ejournal.uinib.ac.id menyebutkan bahwa para ahli psikologi sepakat bahwa fase remaja dibagi menjadi tiga fase, yaitu: awal (12-15 tahun), madya (15-18 tahun), dan akhir (18-21 tahun). Pada fase awal, remaja mengalami perubahan jasmani yang cepat, sehingga memungkinkan terjadinya goncangan emosi, kecemasan, dan kekhawatiran sehingga konsep-konsep keagamaan yang ada dalam benak remaja pada fase ini masih dalam keraguan. Pada fase madya, remaja mengidolakan sesuatu dan menyadari akan perlunya kehadiran seseorang yang akan mendampinginya dalam menghadapi bermacam gelaja jiwa yang dialaminya tersebut sehingga kerap lebih mempercayai teman sebaya untuk teman bercerita dibanding orang tuanya sendiri. Pada fase ini remaja sangat mudah dipengaruhi lingkungan. Adapun pada fase akhir, remaja telah mendekati kesempurnaan dari segi perkembangan fisik dan kematangan secara psikis.

Dengan demikian masa remaja adalah masa yang sangat penting dalam fase kehidupan manusia, karena masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa yang mencakup perubahan-perubahan biologis, kognitif, emosional, dan sosial. Pada saat inilah diperlukan pendekatan oleh orang tua, guru, dan tokoh keagamaan di lingkungan masyarakat sehingga dapat membentuk karakter remaja dengan baik.
Dalam kerangka inilah penulis berusaha memberikan wacana kepada orang tua agar dapat memandu putra/putrinya yang beranjak remaja mengenai konsep Islam tentang tujuan eksistensi manusia.

Bagi seorang muslim, jelas, bahwa manusia adalah salah satu dari trilyunan karya Allah Yang Maha Esa. Allah adalah Al Khaliq (Sang Pencipta) sementara manusia merupakan makhluq (yang diciptakan), sehingga dalam konsep ini meniscayakan pemahaman bahwa hanya Sang Pencipta-lah yang paling tahu maksud dan tujuan diciptakannya sesuatu yang diciptakan-Nya. Ringkasnya, Allah lebih tahu maksud dan tujuan diciptakannya manusia.

Dalam rangka menjawab pertanyaan mendasar mengenai eksistensi manusia yang selalu muncul dalam batin manusia inilah, Allah memberikan isyarat dalam Al Quran. Setidaknya ada dua jawaban Allah dalam Al Quran, yakni dalam surat Al Baqarah: 30-33 dan Adz Dzariyat: 56.

Allah menjelaskan awal eksistensi manusia di bumi dalam Al Baqarah: 30-33. Dia menyebutkan keinginan-Nya untuk menciptakan makhluk yang berperan sebagai khalifah dan mempersiapkan makhluk tersebut dengan kemampuan resepsi kognitif yang luar biasa sehingga mampu mendahului malaikat dan jin di bidang pengetahuan. Makhluk tersebut adalah Adam. Dari Adam (dan istrinya) kemudian manusia berkembang menjadi bersuku-suku dan berbangsa-bangsa seperti sekarang (lihat Al Hujurat: 13).

Lalu apa itu khalifah? Al Mahalli dalam Tafsir Al Quran Al Karim lil Imamain Al Jalilain ketika menjelaskan ayat: وإذ قال ربك للملائكة إني جاعل في الارض خليفة beliau menegaskan: يخلفني في تنفيذ احكامي فيها (menggantikan-Ku (Allah) dalam pelaksanakan hukum-Ku di bumi). Dengan demikian kata khalifah dimaknai sebagai pengganti oleh Al Mahalli. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, yaitu قوما يخلف بعضهم بعضا قرنا بعد قرن وجيلا بعد جيل (yakni suatu kaum yang akan menggantikan satu kaum lainnya, masa demi masa, dan generasi demi generasi). Demikian pula Al Qurthubi dalam Al Jami’ li Ahkamil Quran menegaskan bahwa kata khalifah dapat bermakna fa’il dan maf’ul (menggantikan dan digantikan); يخلف من كان قبله (menggantikan yang sebelumnya); dan خليفة الله في امضاء احكامه واوامره (menggantikan Allah dalam pelaksanaan hukum-hukum dan perintah-perintah-Nya).

Sementara itu Quraish Shihab dalam Lisnawati berpendapat bahwa kata khalifaħ pada mulanya berarti yang menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya. Walaupun kata khalifaħ itu diartikan pengganti, tetapi khalifah Allah di sini tidak bisa diartikan dengan
pengganti Allah karena tidak ada pengganti bagi Allah. Tentu maksudnya
di sini ialah orang yang disuruh oleh Allah menjadi pelaksana di muka bumi. Atas dasar ini, ada yang memahami kata khalifah di sini dalam arti menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya. Dalam tafsiralquran.id Quraish Shihab juga menjelaskan bahwa maknanya adalah tanggung jawab. Nabi Adam dan juga seluruh manusia diciptakan untuk menjadi khalifah. Artinya mereka bertanggung jawab untuk memelihara dan mengantar segala yang wujud di bumi ini kepada tujuan penciptaannya.

Adapun dalam surat Adz Dzariyat: 56 Allah menyatakan tujuan penciptaan manusia (dan jin) dengan firman-Nya: وما خلقت الجن والانس الا ليعبدون (Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku). Saat menafsirkan ayat ini Al Qurthubi menyatakan اي: انما خلقتهم لامرهم بعبادتي لا لاحتياجي اليهم (yaitu: Aku menciptakan mereka hanya untuk Aku perintahkan agar mereka beribadah kepada-Ku bukan karena Aku membutuhkan mereka).

Lalu apakah makna ibadah? Dalam almaany.com disebutkan bahwa kata ibadah berakar dari kata: عبد يعبد عبادة وعبودية yang artinya عبَد اللهَ وحَّدَه وأطاعَه، وانقادَ وخضَع وذلَّ له، والتزمَ شرائعَ دينه، وأدَّى فرائِضَه (mengesakan Allah saja, menaati-Nya, tunduk kepada-Nya dan merendahkan diri kepada-Nya, mematuhi syariat-Nya, dan memenuhi kewajiban terhadap-Nya).

Yazid dalam almanhaj.or.id menyebutkan bahwa ibadah secara etimologi berarti merendahkan diri serta tunduk sedangkan secara terminologi ibadah mempunyai banyak definisi, di antaranya: ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para rasul-Nya; ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa kecintaan yang paling tinggi; dan ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa ucapan ataupun perbuatan, yang lahir maupun batin.

Quraish Shihab dalam Al-Mishbah, sebagaimana disebutkan dalam akurat.co menegaskan, Allah tidak menciptakan jin dan manusia untuk suatu manfaat yang kembali kepada-Nya, tetapi mereka Dia ciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Dan ibadah itu sangat bermanfaat untuk manusia sendiri.

Artinya, sungguhpun ibadah tersebut dilakukan oleh manusia, manfaatnya bukanlah untuk yang diibadahi (Allah), tetapi manfaatnya justru kembali kepada manusia tu sendiri misalnya dalam bentuk pahala, kasih sayang Allah, dan surga.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa bagi seorang muslim, pertanyaan "untuk apa aku ada" sesungguhnya telah dijawab oleh Allah melalui Al Quran sejak empat belas abad yang lalu sehingga yang diperlukan baginya saat ini adalah menjalani kehidupan agar sesuai dengan tujuan penciptaannya, yaitu sebagai khalifah dan dalam rangka ibadah. 


Referensi: 

Al Mahalli, Jalaluddin dan As Suyuthi, Jalaluddin, Tafsir Al Quran
              Al Karim lil Imamain Al Jalilain, An Nur Asia, t.t.

Al Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr, Al Jami’ 
              li Ahkamil Quran, Muassasah Ar Risalah, cet. I, 2006.

Ibnu Katsir, Abul Fida Ismail bin Umar, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim,
              Dar Thaibah, t.t.

Khadijah, Perkembangan Jiwa Keagamaan pada Remaja, 
              www.ejournal.uinib.ac.id/jurnal/index.php/attaujih,
              diakses pada 14/10/2021.

Lisnawati, Yesi, Konsep Khalifah dalam Al Quran dan Implikasinya,
              www.ejournal.upi.edu/index.php/tarbawy/article/download/
              3377/2370, diakses pada 25/10/2021.

www.akurat.co/tafsir-qs-ad-dzariyat-ayat-56-begini-agar-hidup-tidak-
              sekadar-hidup, diakses pada 25/10/2021.

www.almaany.com, diakses pada 14/10/2021.

www.almanhaj.or.id/2267-pengertian-ibadah-dalam-islam.html,
              diakses pada 14/10/2021.

www.pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/
              infodatin-reproduksi-remaja.pdf, diakses pada 14/10/2021.

www.tafsiralquran.id/makna-khalifah-dalam-al-quran-tafsir-surat-
              al-baqarah-ayat-30, diakses pada 25/10/2021.

Tidak ada komentar: