Aliran kata dari akal dan hati. Sebuah upaya menebar manfaat melalui jejak digital. Semoga menjadi علم ينتفع به .

16 Desember 2024

Hadis Ke-27 Al Arba'in An Nawawiyyah

Hadis Arbain Ke-27 (Sumber: Mahyay, t.t.)

Dari An-Nawwas bin Sam’an radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Al-birr adalah husnul khuluq (akhlak yang baik). Sedangkan al-itsm adalah apa yang menggelisahkan dalam dirimu. Engkau tidak suka jika hal itu nampak di hadapan orang lain.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 2553]

Dari Wabishah bin Ma’bad radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, ‘Apakah engkau datang untuk bertanya tentang kebajikan dan dosa?’ Aku menjawab, ‘Ya.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebajikan itu adalah apa saja yang jiwa merasa tenang dengannya dan hati merasa tentram kepadanya, sedangkan dosa itu adalah apa saja yang mengganjal dalam hatimu dan membuatmu ragu, meskipun manusia memberi fatwa kepadamu.’” (Hadis hasan. Kami meriwayatkannya dalam dua kitab Musnad dua orang imam: Ahmad bin Hanbal dan Ad-Darimi dengan sanad hasan)

An-Nawwas merupakan salah seorang sahabat yang berasal dari Syam. Beliau menyatakan keislamannya bersama dengan ayahnya, lalu tinggal di Madinah selama 1 tahun. Beliau meriwayatkan sekitar 17 hadis. Adapun Wabishah masuk Islam pada tahun 9 Hijriah. Beliau menetap di Kufah lalu pindah ke Syam dan wafat pada tahun 89 Hijriah. Hadis yang diriwayatkannya berjumlah sekitar 11 hadis.

Membaca hadis ini, kita dapat mengambil beberapa kesimpulan penting, di antaranya adalah:

  1. Perihal mukjizat Nabi Muhammad yang bisa mengetahui maksud dan tujuan kedatangan sahabatnya meskipun sahabatnya belum mengutarakan apa-apa. Hal ini terlihat dari hadis yang diriwayatkan oleh Wabishah.
  2. Istilah al-birr yang dijelaskan definisinya oleh Nabi Muhammad sebagai akhlak yang baik. Sedangkan al-itsm didefinisikan sebagai apapun yang membuat diri tidak tenang dan tidak ingin diketahui orang lain. Dalam terjemah Al-Qur’an versi Kemenag 2019 al-birr diartikan sebagai kebajikan sedangkan al-itsm diartikan sebagai kejahatan, dosa, dan bohong.
  3. Ketika kita dalam keadaan tidak yakin terhadap perilaku yang akan kita lakukan, apakah baik ataukah buruk, maka rumusnya adalah bahwa segala kebaikan menenangkan hati sedangkan kejahatan membuahkan kegelisahan. Ibnu Umar berkata: “Al-Birru amrun hayyinun wa wajhun thalqun wa lisanun layyin.” (Kebajikan adalah perkara yang mudah, wajah yang berseri (sedap dipandang), dan lidah yang lembut).
  4. Istafti qalbak (mintalah fatwa kepada hatimu) mengandaikan bahwa hati manusia memiliki kecenderungan kepada kebenaran. Itulah yang menyebabkan seorang penjahat tidak menginginkan anak cucunya tidak berperilaku yang sama dengan dengan dirinya. Jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa perilakunya tidak pantas dilakukan, apalagi diwariskan. Dalam Asy-Syams: 8, Allah Swt. menyatakan: “Fa alhamaha fujuraha wa taqwaha.” (Lalu Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya).

Sumber:

Al Bugha, Musthafa Dieb, dan Misthu, Muhyiddin, Al Wafi Syarah Hadis Arba’in Imam An Nawawi, terj. Wakhid, Rokhidin, Qisthi Press, Jakarta, 2014

Mahyay, Muhammad Abdur Razzaq, Syarhul Arba’in An Nawawiyyah, Maktabah Muhammad bin Ahmad Nabhan wa auladih, Surabaya, t.t.

www.maktabahalbakri.com/3933-siapakah-sahabat-nabi-saw-yang-bernama-nawwas-bin-saman/

www.maktabahalbakri.com/3934-siapakah-sahabat-nabi-saw-yang-bernama-wabishah-bin-mabad/

www.manhajuna.com/biografi-singkat-periwayat-hadits-dari-kalangan-sahabat-bag-iii/

www.rumaysho.com/21822-hadits-arbain-27-minta-fatwa-pada-hati-tentang-kebaikan-dan-dosa.html

Kajian Ahad Subuh - Masjid At Taqwa Ali Mubarak Pondokmiri (10/11/2024)

Find me on: Kompasiana and Medium.

13 Desember 2024

Antara Lampu Lalu Lintas dan Salat: Refleksi

maps.google.com

Dulu direktur di sekolah saya pernah berseloroh, “Kalau mau tahu karakter asli orang, lihat aja di jalan raya.” Waktu itu saya mikir, “Ah masak iya sesimpel itu?” Entah beliau mengambil ungkapan itu dari mana, tapi sepertinya menarik. Namun, saya tidak mau membahas benar tidaknya statement itu ya. Hehe.

Sebagai pengendara motor yang setiap hari melintas di jalan Karang Tengah Lebak Bulus - Pondok Cabe, kemacetan tidak pernah terhindari. Seringnya saya mengalami kemacetan terjadi di simpang tiga South City, terutama menjelang sore sekitar pukul 17.00 ke depan. Sebetulnya kemacetan di pertigaan tersebut sudah jauh terjadi sebelum adanya persimpangan tersebut, hanya saja titik kemacetan berpusat di simpang tiga jalan Kayu Manis. Sisi menariknya adalah kemacetan ini tetap terjadi meskipun sudah ada jalan yang lebih lebar: South City.

Satu sore saya hampir kehabisan waktu Magrib ketika tiba di rumah, sekitar 5 menit menjelang Isya. Di lain waktu saya terjebak hampir 1 jam di jalan tersebut. Setelah saya amati, ternyata memang ada kecenderungan pelanggaran lalu lintas yang masif di pertigaan tersebut. Banyak sekali pengendara roda dua dari arah Cireundeu yang cenderung mengambil langsung arah lurus padahal sudah ada dinding barrier yang mengalihkan jalan ke kiri. Ketika pemotor mengambil jalan lurus, dan ini masif, maka tentu saja mereka mengambil hak kendaraan-kendaraan yang datang dari arah berlawanan. Hal ini sangat meresahkan. Padahal, selain ada barrier terdapat pula lampu lalu lintas yang berdiri tegak di pertigaan tersebut. Dan memang tujuan pengalihan rute dari lurus ke berbelok kiri merupakan salah satu usaha untuk mengurangi kepadatan kendaraan. Inilah faktor utama penyebab kemacetan di lokasi tersebut: pelanggaran lalu lintas pemotor.

Saya teringat salah satu isi khutbah di Masjid Jaami’ Daarul Adzkaar yang di dalamnya dikutip salah satu ayat Al-Qur’an, yaitu Al-Maidah: 1 yang berbunyi: “Ya ayyuhalladzina amanu awfu bil’uqud ….” (Hai orang-orang yang beriman. Penuhilah akad-akad itu! …). Sang khatib menjelaskan bahwa akad itu semakna dengan kesepakatan. Dalam ayat ini, kaum beriman diperintahkan untuk menaati kesepakatan-kesepakatan yang berlaku dalam bermasyarakat dan bernegara. Artinya, lampu merah, kuning, dan hijau merupakan aturan lalu lintas yang sudah disepakati bersama maknanya, maka adalah kewajiban bagi setiap mukmin untuk menaatinya. Ketika berbicara ‘kewajiban’ maka ada konsekuensi hukum yang akan didapatkan manakala ‘kewajiban’ tersebut dilaksanakan dan sebaliknya. Dalam perspektif Islam, kewajiban berimplikasi pahala jika dikerjakan dan bersanksi dosa bila dilanggar. Artinya, status hukumnya sama dengan salat, puasa, berbuat baik, dan sebagainya.

Namun, pemahaman konsep ini sepertinya belum ada pada sebagian pelanggar lalu lintas. Atau, bisa jadi mereka sudah teredukasi namun kemauan untuk aplikasi yang belum ada. Ya, memang, pengetahuan sering kali tidak berbanding lurus dengan perilaku. Dalam konteks ini, pendidikan (dalam pengertian bahwa tujuan pendidikan adalah perubahan dari tidak tahu menjadi tahu dan membuahkan perilaku yang sesuai dengan pengetahuannya) telah gagal. Buat apa sekolah tinggi-tinggi tapi tetap melanggar lampu lalu lintas?

1 Desember 2024

(Jadikan) Masjid Ramah Jemaah

Tiba-tiba ingin bercerita. Ini pengalaman pribadi. Waktu itu, seperti tradisi Indonesia lazimnya, saat Idulfitri kami keliling berlebaran. Karena kami asli Pondok Pinang, kunjungan ke sana adalah kemestian.

Nah, satu sore, giliran kami berlebaran ke rumah saudara umi (ibu mertua saya) di Gang Kramat. Setelah bersalam-salaman dengan keluarga yang kami kunjungi, saya segera berlalu ke masjid karena belum salat Asar semantara hari sudah menjelang pukul 5.

Selepas berwudu, saya nyalakan kipas angin yang terpasang di dinding sebelum melaksanakan salat Asar. Posisinya cukup tinggi, mungkin hampir tiga meter dari lantai.

Setelah salat, saya rebahan persis berhadapan dengan kipas angin dan hmmm sejuk, hampir saja terlelap. Dalam kondisi sedemikian rupa, saya kaget ketika ada seorang pria, sepertinya warga — entah pengurus masjid atau bukan saya tidak tahu, masuk ke masjid lalu bersiap mematikan kipas angin. Melihat saya terbangun, sontak ia berkata sambil menarik tali kipas angin ke arah angka 0, “Sayang-sayang listriknya mahal.”

Saya tidak melihat ekspresi wajahnya saat mengatakan hal itu, tapi saya mendengar nada bicaranya. Datar dan cuek. Saya tambah kaget, namun langsung menanggapi, “Oh iya, Pak. Matiin aja.”
Batin saya kesal luar biasa. Ngedumel. Loh kok, gitu ya? Padahal jelas- jelas kipas anginnya tidak besar dan saya yakin tidak akan menghabiskan uang Rp100.000 untuk beli pulsanya.

Bukankah, masjid adalah fasilitas umum yang didanai oleh umat dan umat (siapapun dia, warga ataupun musafir) berhak menerima dampak kebaikan dari dana yang dikumpulkan? Dari umat untuk umat. Kekesalan saya bertambah, ketika saya melihat kotak amal masjid ini penuh dengan uang (karena memang terbuat dari kaca) berdiri tegak di pinggir jalan. Batin saya menggerutu, “Apakah karena saya bukan warga dan bukan jemaah asli situ jadi saya tidak berhak mendapat belaian kipas angin?”
Saya kira tindakan pria tersebut tidak bijak. Bayangkan, itu kipas angin, loh. Apalagi kalau AC, bisa jadi habislah saya dicaci maki. Hahaha.

Ada lagi masjid di tempat tinggal saya. Saya diberitahu oleh istri saya bahwa ada seorang ibu yang memasang status whatsapp bernada kecewa terhadap pengurus masjid. Sang ibu menyayangkan sikap pengurus masjid yang melokalisir anak-anak saat salat Jum’at di tempat yang terkena matahari langsung. Dari status whatsapp-nya, ia memahami maksud pengurus adalah agar jemaah dewasa tidak terganggu ke-khusyu’-annya dengan keberadaan anak-anak yang notabene begitulah. Namun, sang ibu juga mengingatkan pengurus bahwa berisiknya anak-anak saat salat Jum’at tidaklah dihisab, sedangkan perilaku memanaskan anak-anak dengan terik matahari itu akan dihisab di hadapan Allah Swt.
Mungkin pembaca punya pengalaman lain. Perlu kita sadari bahwa terkadang pengurus masjid masih belum ramah terhadap jemaah, dan bisa jadi ketidakramahan itu merupakan salah satu penyebab tidak enggannya umat untuk datang ke masjid. Saya katakan, bisa jadi ya.

Al -Albani menceritakan dalam Shifatu Shalatinnabiyy. Satu subuh, Rasulullah saw. memimpin salat tidak seperti biasanya. Bacaan Al-Qur’annya pendek. Tatkala selesai, sahabat menanyakannya mengapa salat hari ini tidak seperti biasanya. Beliau menjawab bahwa awalnya ia mau membaca Al-Qur’an dengan bacaan yang panjang. Namun, ia mendengar suara tangisan anak kecil dan ia menduga ibunya salat bersama (berjemaah juga). Ia tegaskan bahwa ia mempercepat salatnya agar anak dan ibunya tenang.

Alangkah indah perangai Rasulullah saw. terhadap umatnya.

Find me on Kompasiana and Medium.